Sejarah dan Perkembangan Kampung Dukuh

2.2 Sejarah dan Perkembangan Kampung Dukuh

2.2.1 Sejarah Kampung Dukuh

Kampung Dukuh konon didirikan oleh Syeikh Abdul Djalil. Seorang ulama dari Sumedang di era kekuasaan Bupati Rangga Gempol, abad 16-17 Masehi. Karena kecewa akan janji Bupati untuk menerapkan syariat Islam di tatar Sumedang yang tak pernah terlaksana, akhirnya dia mengasingkan diri di Cikelet, Garut Selatan. Di situlah Syeikh Abdul Djalil membuka Kampung Dukuh berikut adat istiadatnya. Makamnya terletak di sisi timur Kampung Dukuh.

Kala itu, Syeikh Abdul Djalil, penduduk Nusa Jawa, menimba ilmu di tanah suci Mekkah. Setelah ilmunya cukup, gurunya meminta agar Syeikh Abdul Djalil pulang ke kampung halamannya. Namun Syaikh keberatan, dengan alasan ingin menghabiskan sisa hidupnya di Makkah. Guru Syeikh maklum dengan itikad baik muridnya. Namun ia tetap berharap supaya muridnya itu kembali ke tanah air.

Untuk itu, beliau memberinya segenggam tanah dan sekendi air suci dari Mekkah. Syeikh Abdul Djalil merupakan sosok yang taat dan patuh terhadap gurunya. Dan pada akhirnya, Syeikh pun menerima semua permintaan gurunya. Selanjutnya, sang guru berpesan supaya tanah tersebut ditaburkan di tempat yang dianggap cocok dengan nuraninya, sementara air di dalam kendi di tanam di tanah tersebut. Syaikh Abdul Djalil menyetujui, lalu ia kembali ke Mataram.

Pada suatu waktu, di daerah Sumedang yang saat itu diperintah oleh penguasa bernama Rangga Gempol sedang membutuhkan seorang penghulu. Bahkan Rangga Gempol sampai mengirim utusan hingga ke Mataram. Oleh penguasa Mataram, ditunjuklah Syaikh Abdul jalil untuk menjadi penghulu di daerah Sumedang. Syeikh Abdul Djalil bersedia menjadi penghulu di Sumedang, namun dengan satu permintaan. Yakni agar Bupati dan rakyatnya bersatu padu dan saling bahu membahu dan tidak boleh melanggar aturan hukum dan sara’ (Alquran dan Alhadist).

Syarat itu pun disanggupi oleh Rangga Gempol. Setelah Syeikh Abdul Djalil menjabat sebagai penghulu selama 12 atahun, ia berkeinginan untuk melaksanakan ibadah haji dan Rangga Gempol mengijinkan. Ketika Syeikh Abdul Djalil sedang berada di tanah suci Mekkah, penguasa Sumedang kedatangan utusan dari Banten dnegna maksud meminta agar penguasa Sumedang tidak mengabdi ke Mataram melainkan mengabdi ke Banten.

Mendengar keinginan dua utusan dari Banten itu, Rangga Gempol tidak langsung memutus. Namun ia minta waktu untuk mempertimbangkan. Selanjutnya, kedua utusan itu pun kembali ke Banten. Namun ketika berada di daerah Parakan Muncang, keduanya dibunuh atas perintah penguasa Sumedang, dengan alasan jika dibiarkan hidup dan tiba di Banten, dikhawatirkan akan terjadi hruu-hara di Sumedang.

Setelah sekian lama di Mekkah, Syeikh Abdul Djalil kembali ke tatar Sumedang. Namun, kejadian kedatangan dan pembunuhan atas utusan dari Banten ditutup-tutupi agar tidak diketahui Syeikh Abdul Djalil. Namun informasi tersebut akhirnya diketahui juga lewat seorang tangna kanannya yang bernama Sutawijaya. Mendengar laporan itu, Syeikh Abdul Djalil marah dan saat itu juga ia mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai penghulu. Selanjutnya ia pergi dari Sumedang dan mengembara ke daerah Batuwangi Singajaya Garut dan menetap selama kurang lebih 3,5 tahun.

Selama itu, Syeikh Abdul Djalil terus berdoa agar ditunjukkan sebuah tempat yang cocok untuk dijadikan tempat tinggalnya. Kemudian Syeikh Abdul Djalil mengembara lagi ke daerah Tonjong Cisanggiri, Pameungpeuk. Di tempat itu, Syeikh Abdul Djalil menetap kurang lebih 1,5 tahun. Tepat pada hari Jumat Kliwon, 12 Mulud tahun Alif, Syeikh Abdul Djalil melihat cahaya terang yang menyorot dari dalam tanah kira-kira sebesar pohon kawung (aren).

Melihat kejadian itu, Syeikh bergegas menghampiri asal cahaya. Ternyata di tempat itu terdapat sebuah rumah yang ditempati sepasang suami istri yang sedang berladang. Belakangan diketahui bahwa peladang bernama Aki Chandra dan Nini Chandra yang berasal dari cidamar Cianjur. Konon tempat itulah yang kemudian menjadi Kampung Adat Dukuh.

Ketika Syeikh Abdul Djalil datang, keduanya langsung menyerahkan tempat tersebut. Selanjutya, Nini dan Aki Chandra kembali ke daerah asalnya di Cidamar, Cianjur. Penduduk Cidamar sangat menyayangkan sikap Aki dan Nini Chandra yang kembali ke kampung halaman. Seharusnya, Aki dan Nini Chandra tetap tinggal di tempat itu dan menimba ilmu dari Syeikh Abdul Djalil. Rupanya, saran penduduk Cidamar itu bisa diterima. Mereka akhirnya memutuskan untuk kembali ke tempat itu. Namun di tengah perjalanan, Aki dan Nini Chandra meninggal dunia dan dimakamkan di Palawa Chandra Pamulang.

2.2.2   Letak Geografis Kampung Dukuh

Kampung Dukuh adalah kampung adat yang memiliki keunikan tersendiri. Pola kehidupan sarat nilai-nilai luhur. Masyarakatnya hidup di rumah-rumah panggung yang sederhana. Bangunan berwujud empat persegi panjang dari kayu atau bambu beratap daun ilalang yang dilapis ijuk. Semua bangunan menghadap ke Barat dan Timur. Di sinilah kesahajaan hidup plus tata nilai yang tulus dalam peradaban masih bisa disaksikan.

Memang, rumah-rumah panggung itu hanya boleh menghadap ke Barat dan Timur. Adalah pantang bagi mereka membuat pintu yang menghadap ke Utara. Tak jelas benar apa alasannya. Namun ciri itu menciptakan satu keseragaman yang unik. Selain itu, Masing masing rumah memiliki halaman memanjang seperti jalan setapak yang membujur di muka dan di belakangnya.

Letak Geografis Kampung Dukuh, Kampung Dukuh adalah sebuah kampung adat yang terletak di Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten DT II Garut, Propinsi Jawa Barat. Secara geografis, Kampung Dukuh terletak pada ketinggian 390 m diatas permukaan laut dengan suhu rata-rata 26 derajat celcius dan secara astronomis terletak pada garis 7o – 3o LS, 7o – 108o BT.

Kampung Dukuh ini terletak sekitar 161 km dari ibu kota propinsi (Bandung) dan sekitar 97 km dari ibu kota kabupaten tingkat II Garut Perjalanan menuju Kampung Dukuh dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi umum dari Garut sampai dengan ibu kota kecamatan, yaitu Cikelet. Setelah itu perjalanan akan dilakukan dengan menggunakan ojeg (motor) atau berjalan kaki dengan jarak sekitar 8 km.

Kampung Dukuh merupakan suatu pemukiman yang mengelompok yang memiliki luas sekitar 10 hektar, terdiri atas beberapa puluh rumah yang tersusun pada kemiringan tanah yang bertingkat. Pada tiap tingkatan terdapat sederetan rumah yang membujur dari barat ke timur. Pembagian wilayah kampung dukuh ini terdiri dari tiga bagian, yaitu Dukuh Dalam, Dukuh luar dan Karomah (makam keramat). Selain itu juga terdapat pembagian wilayah yang difungsikan sebagai tanah cadangan pemukiman yang disebut sebagai tanah awisan.

Di dalam kawasan Kampung Dukuh terdapat 42 rumah dan sebuah bangunan Mesjid. Terdiri dari 40 Kepala keluarga serta jumlah penduduk 172 orang untuk Kampung Dukuh Dalam dan 70 kepala keluarga untuk Kampung Dukuh Luar. Mata pencaharian utama adalah bertani, beternak ayam, bebek, kambing, domba, kerbau, memelihara ikan dan usaha penggilingan padi.

Kampung adat ini memiliki luas 10 ha dengan jumlah penduduk 450 jiwa, yang tergabung ke dalam 90 KK. Terdiri dari dua daerah pemukiman yaitu Dukuh Dalam dan Dukuh Luar. Di sebelah Timur kampung ini terdapat satu pranata lain yang juga dihormati. Yakni sebuah pemakaman yang disebut dengan “Makam Karomah” (tanah larangan). Itulah makam pendiri Kampung Dukuh dan kerap diziarahi masyarakat dari berbagai tempat. Hanya saja, tak sembarangan orang boleh memasukinya. Hari ziarah pun ditentukan hanya Sabtu dengan aturan-aturan khas. Ketiganya dibatasi oleh pagar yang terbuat dari kayu dan bambu.

Saat ini, kedudukan Kampung Dukuh sebagai pusat adat hanya merupakan sebuah kampung dari 18 kampung dalam kapunduhan Ciroyom. Keadaan ini menunjukkan bahwa keberadaan kampung adat sangat lemah sekali dibandingkan kedudukan Desa yang menjalankan sistem administrasi pemerintahan negara.

Belum lagi bila dibandingkan dengan kedudukan dalam satu kawasan ulayat yang terdiri dari dua desa, yaitu Karangsari dan Cijambe. Hal ini membuat komunitas adat ini makin terjepit dan nyaris hanya jadi sekedar monumen saja. Akan tetapi, secara spiritual, karomah Kampung Dukuh masih tetap besar. Masyarakat di dalam kawasan ini masih bangga mengakui sebagai komunitas Dukuh yang tetap mengikuti pola hidup secara adat.

2.2.3 Mata Pencaharian

Pada umumnya mata pencaharian masyarakat adat adalah bertani, sama halnya dengan masyarakat diKampung Dukuh. Pada waktu itu sistem pertanian yang mereka lakukan adalah sistem pertanian ladang berpindah. Ada dua alasan kenapa sistem tersebut dilakukan:

(1) Karena lahan yang tersedia masih sangat luas, dan

(2) Karena dengan sistem ladang berpindah kesuburan tanah akan tetap terjaga.

Tetapi seiring dengan bergeraknya zaman, sistem pertanian ladang berpindah mulai ditinggalkan dan sebagai gantinya adalah sistem pertanian menetap. Sistem pertanian menetap mengharuskan para penggarap untuk tinggal tidak jauh dari lokasi garapannya. Tujuannya adalah menjaga lahan garapan dari gangguan-gangguan yang tidak diinginkan. Mulai saat itulah banyak warga masyarakat kampung Dukuh yang meniggalkan kampung induknya guna mendirikan perkampungan baru yang berdekatan dengan lokasi lahan garapannya. Seiiring dengan bertambahnya penduduk, maka bertambah pula kampung-kampung baru disekitar wilayah adat dukuh.

2.2.4 Adat Istiadat

Kehidupan masyarakat kampung Dukuh melandaskan pada sebuah falsafah yang dikenal dengan nama Elmu Dukuh. Falsafah ini merupakan warisan yang diperoleh secara turun temurun dan hanya dikuasai oleh orang-orang tertentu. Selanjutnya Elmu Dukuh ini diturunkan lagi kedalam aturan-aturan yang mengatur bagaimana orang Dukuh harus bersikap, apa-apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan apa-apa yang boleh atau tidak boleh digunakan.

Keunikan Kampung Dukuh adalah keseragaman struktur dan bentuk arsitektur bangunan pemukimannya. Terdiri beberapa puluh rumah yang tersusun pada kemiringan tanah yang bertingkat. Setiap tingkatan terdapat sederetan rumah yang membujur dari Barat ke Timur. Kampung Dukuh merupakan wilayah dengan suasana alam dan budaya religi kuat. Masyarakat di sini memiliki pandangan hidup berdasar pada sufisme Mazhab Imam Syafii. Landasan budaya tersebut mempengaruhi bentuk fisik wilayah tersebut serta adat istiadat masyarakat. Masyarakatnya pun sangat menjunjung harmonisasi dan keselarasan hidup.

Paham itulah yang membawa pengaruh pada penerapan budaya hidup sederhana. Tengoklah pada bentuk bangunan di Kampung Dukuh yang tidak menggunakan dinding dari tembok dan atap dan genteng serta jendela kaca. Ini menjadi salah satu aturan yang dilatarbelakangi alasan bahwa hal yang berbau kemewahan akan mengakibatkan suasana hidup bermasyarakat menjadi tidak harmonis.

Di kampung ini tidak diperkenankan adanya listrik dan barang-barang elektronik. Sebab barang-barang semacam itu dipercaya selain ada manfaatnya, namun mudharatnya lebih besar lagi. Alat makan yang dianjurkan terbuat dari pepohonan dan alam sekitar. Misalnya terbuat dari bambu, batok kelapa dan kayu. Material tersebut dipercaya lebih memberikan manfaat ekonomis dan kesehatan, karena bahan tersebut tidak mudah hancur atau pecah dan dapat menyerap kotoran.

Pada hari Kamis, 5 Oktober 2006, kampung ini mengalami kebakaran hebat. Sebanyak 51 dari 96 bangunan yang ada terbakar bersama isinya. Benda pusaka yang disimpan di Panyepenan ikut musnah pula. Para sepuh Kampung Dukuh menyebut musibah itu sebagai ”geus nepi kana ugana” (sudah sampai kepada ugah-nya). Hal ini berpegang pada ramalan masyarakat Kampung Dukuh yang berbunyi : ”Di ahir jaman bakal loba parahu/ Urang Dukuh mah makena parahu belang. (Di akhir zaman nanti akan terdapat banyak perahu. Orang Dukuh akan memakai perahu belang).”

Ugah atau ramalan yang disebutkan para tokoh masyarakat adat Dukuh tersebut ditafsirkan, bahwa suatu saat nanti, orang Dukuh akan mengalami kehancuran dan setelah hancur akan tumbuh kembali setelah datang Ratu Adil yang membangun kembali Dukuh.

Leave a comment